Rasanya udah lama nggak menulis tentang apa yang ada diisi pikiran. Anyway, Elnie yang dulu dan sekarang masih percaya sebuah hubungan dimulai dengan mengenal masing-masing atau yang kita kenal pacaran. Berangkat dari pengalaman kemarin di New Zealand. Aku menyadari hubungan antara cewek cowok nggak sesederhana aku-cinta-kamu dan ayo-kita-pacaran. Jika kita mau jujur, lebih banyak main logika ketimbang perasaan. Aku pernah tulis: Cinta itu nggak bisa dipaksakan…
Ada banyak hal yang dipertimbangkan dari mulai rencana ke depan masing-masing, mau punya anak apa nggak, kalau pun mau punya anak berapa jumlahnya. Financial position gimana, jangan sampai pas udah nikah, eh, ada utang pinjol puluhan juta. Dan masih banyak hal yang perlu dikomunikasikan sebelum memutuskan untuk memasuki jenjang pacaran. Iya, sekompleks itu. Buat aku sendiri—bertemu orang baru yang kiranya mungkin bisa jadi gebetan, perlu bertatap muka, bicara dan mengenal satu sama lain itu poin yang nggak pernah aku tawar. Terlebih kalau aku kenalan melalui online dating.
Kita mungkin punya segudang check list seperti apa harapan kita terhadap calon pasangan nanti. Terlepas dari itu semua, hal yang aku sadari dan paling krusial dalam hubungan adalah komunikasi dan kompromi. Semua hal yang aku sebutkan di atas nggak akan ada kejelasan kalau dari awal komunikasi kita jelek atau satu arah. Dan akhirnya salah satu atau kedua belah pihak kecewa. Di sini akan timbul masalah baru. Ketidakpuasan, selingkuh, perceraian, dll. Tapi aku yakin, dengan komunikasi-kompromi-usaha, sebuah hubungan patut diperjuangkan.
Aku Belajar Memiliki Healthy Adult Relationship
Bermula aku mengenal seorang pria usia matang, beberapa tahun di atasku. Sebut saja Adam. Aku mengenal Adam dari situs online. Adam tinggal di South Island saat itu. Hingga akhirnya suatu hari Adam memutuskan untuk mengunjungi aku di Auckland. Tentu ada perasaan kalut, deg-degan, senang, was-was. Semua campur jadi satu.
Takut banget ternyata Adam ini psikopat gimana ya?
Atau, ternyata kita awkward?
Aku berusaha menepis pikiran jelek.
Kami janjian bertemu di tempat umum di Ponsonby Food Court. Dan aku sudah menginformasikan temanku kalau aku akan kopi darat dengan Adam. Incase, amit-amit aku kenapa-kenapa ya. Singkat cerita, Adam hanya menghabiskan waktu 2 malam di Auckland dan memang dia terbang cuma untuk menemuiku. Aku tersanjung sekaligus nggak abis pikir, ada orang segila ini ya. Sempat aku bertanya, kalau ternyata wujud asliku tidak seperti difoto gimana? Atau, kita ternyata nggak nyambung, kamu gimana? Well, dia bilang, sudah jadi konsekuensi. Sejak itu komunikasi kami makin intens walau jarak memisahkan. Jujur, aku nggak suka LDR. Hingga akhirnya aku pun memutuskan kita harus berjumpa lagi.
Singkat cerita setelah 2 kali pertemuan dengan Adam, tiba di mana kami memulai pembicaraan serius. Walau aku usaha untuk menghindari topik ini. Tapi sepertinya this is the time.
Bagaimana kita Mencari Solusi LDR?
Memang Auckland ke Christchurch bagai Jakarta Bali. Tapi harus ditempuh dengan pesawat dan itu nggak murah. Hingga pembicaraan status kependudukanku yang saat itu baru memegang student visa. Akhirnya kami memutuskan bahwa hubungan ini tidak bisa dilanjutkan ke jenjang berikutnya. Kenapa? Baik dia dan aku saat itu tidak ada yang bisa mengalah untuk pindah. Dia ada usaha yang masih dirintis setelah akhirnya pandemi berakhir, mortgage, serta pertimbangan lainnya. Sedangkan aku, masih sekolah untuk visaku, baru saja dapat pekerjaan kantoran, keuanganku yang masih cukup morat-marit setelah bayar uang sekolah. Tidak ada jalan tengah atau solusi lain. Pindah negara aja sudah sulit, ini lagi, pindah kota di negara orang untuk pria yang baru aku kenal. Kami sepakat untuk memutuskan sebatas berteman saja.
Bertemu (lagi) dan Belajar Memaknai Sebuah Relationship
Lain Adam, lain dengan Pras. Pras berkebangsaan Australia keturunan India. Lagi-lagi aku mengenal pria dari kota berbeda, Wellington. Kami terpaut beda usia 5 tahun. Karena pekerjaannya di perusahaan multinational, Pras memiliki jadwal rutin dinas ke Auckland dan memutuskan kita bertemu untuk makan siang. Layaknya kopi darat pada umumnya, aku berusaha tampil secantik mungkin. Tanpa basa-basi, singkatnya kami cocok. Aku merasa Pras sangat nurturing mengenai karirku, mengajarkan untuk proses interview, hingga koreksi CV. Kami juga membicarakan hal lain mengenai perencanaan ke depan masing-masing. Banyak hal yang aku pelajari dari Pras. Dari bagaimana critical thinking in western way, bahkan gimana mengkomunikasikan segala hal karena dia selalu mengingatkan, “Elnie… I’m adult so do you. Let’s talk everything thoroughly.” Karena memang kerjaan Pras yang semua serba terorganisir dan practical. Dia itu serba analisa. Somehow lelah juga mikir terus. Tapi dilain sisi, diskusi kami jauh lebih menarik ketimbangan pembahasan monoton seperti makanan favorit, warna kesukaan, dll. Aku juga jadi banyak belajar:
Instead of saying or telling him what to do, I will ask: How can I help you?
Saying thank you for everything we have done to one another is one of appreciation. For instance, thank you for making a time in your hectic schedule to meet me.
I want you to feel comfortable sharing both the positive and negative. Don’t hold onto it alone and let it affect you. Remember, I’m here for you. If it’s not great news, allow my self to get sometime to process and reflect. We’ll work through it together.
Untuk kasus satu ini aku masih bisa tolerir LDR karena jadwal rutin Pras ke Auckland setidaknya bisa tiap minggu. Walau sempat saat Auckland lockdown kami terpaksa hanya komunikasi online yang mana menyiksa. Aku juga lebih percaya diri karena status kependudukanku yang telah memegang visa kerja saat itu. Aku bukan tipe yang bisa basa basi lewat text. Menurutku nanya udah makan, makan sama apa, how’s your day, itu tuh bosenin. It’s something usual once you always ask everyday. Dari yang mungkin banyak cerita hingga cuma, “yep, all good here.” Beda kalau kita nanya pas ketemu.
Home Sweet Home to Indonesia
Tiba saatnya kantorku menawarkan aku untuk pulang ke Indonesia sebagai bagian dari dinas kantor. Berat banget ya, Tuhan. Karena saat itu hanya aku orang Indonesia di kantor dan perlu penanganan khusus langsung terjun ke market bersama tim lokal. Aku utarakan penawaran kantor ke Pras dan dia menanyakan kapan aku kembali. Saat itu semua ada kepastian. LDR 1 bulan mungkin masih bisa kita atasi. Walau jarak waktu cukup signifikan. Dilain pihak, tentu aku excited karena akhirnya bisa pulang lagi ke tanah air. Bisa berjumpa lagi sama teman dan sahabat dekat setelah 2.5 tahun nggak bertemu.
Semua berjalan baik, hingga 1 bulan terlewati menjadi 2 bulan dan pihak kantorku tidak bisa memastikan apakah mereka akan menarik aku kembali pulang ke Auckland. Pras pun semakin sering (lebih ke mendesak) menanyakan kepastian kapan aku pulang yang aku sendiri nggak tau jawabannya. Di situ aku ada rasa kecewa dan marah akan keadaan. Hingga sering kita berdebat dan komunikasi pun semakin jarang. Seiring waktu, Pras mendapatkan pekerjaan di Australian Government. Walau dia bilang bisa remote, tentu ada di mana ia harus business trip ke Australia. Karena aku merasa LDR tidak berjalan dengan baik tanpa kepastian kedua belah pihak, kuputuskan bahwa baiknya kita tidak menunggu satu sama lain.
Time To Say Goodbye
Intensitas komunikasi kami memang berkurang tapi masih berusaha say hi satu sama lain. Masing-masing dari kami sadar, masih berharap. Suatu hari, Pras mengabarkan bahwa ia baru saja mendapatkan pekerjaan di salah satu maskapai Australia dan mengharuskannya pindah negara dan menjual rumahnya. Aku terdiam.This is it!
Kami saat itu memang belum pacaran. Karena situasi lockdown dan pekerjaanku mengakibatkan kita baru beberapa kali bertemu secara fisik. Kami harus bicara. Aku sendiri tidak yakin apa aku bisa kembali ke Auckland terlebih tanpa pekerjaan. Karena tempatku bekerja akhirnya gulung tikar di akhir tahun 2022. Pras sempat bertanya diawal 2023 apakah aku kembali tengah tahun ini? Karena bulan Juni adalah bulan terakhir Pras berada di New Zealand. Aku sampaikan, aku nggak yakin karena ada urusan keluarga dan beberapa hal yang harus aku benahi. Berat akhirnya kita menyudahi ini semua. Jangan saling menunggu. Aku memang tidak sedang dengan siapapun. Tapi aku tidak berani memberikan harapan dan nekat menyusul Pras ke Australia. None of us would like to make an effort to sacrifice what we had.
Adult Relationship Is Not Easy, But Is It Worth To Fighting For?
Dari dua hubungan itu akhirnya aku berani menarik kesimpulan, relationship on adulthood is not as easy as we were young. Dinamikanya udah bukan lagi pakai outfit apa nanti, atau sekedar makan siang bersama udah cukup bikin happy. Tapi gimana pun, the main key of healthy relationship are effort, two way communication and compromise. Sounds cliche but essential. Sebelumnya aku selalu punya hubungan yang ‘Jalanin aja dulu. Liat ke depannya.‘ Dan semua berakhir sebagai sekolah pengalaman dalam hubungan.
Belajar Mengungkapkan dan Mendengarkan
Dari situ aku sadar, kita sebagai orang Indonesia terbiasa nggak enakan, sungkan, dan nggak berani untuk mengutarakan apa yang dirasa atau dpikirkan. Belajar untuk membuka diri itu sulit. Menyatukan dua pemikiran dan perancanaan itu nggak mudah. Apakah masih bisa dikompromikan atau alter? Apalagi yang terbiasa sendiri dan menyelesaikan apa-apa sendiri. Giving some space is important tapi nggak lantas sibuk di dunia sendiri juga. Kemudian gimana ketika sedang marah atau emosi, apa yang diharapkan dari pasangan? Diemin kah? Atau tipe yang ingin dibujuk? Tapi penting diingat sebelum menjalani hubungan, tanya ke diri, apa main goal kamu terhadap relationship kepada orang tersebut? Just for fun? Or, towards to marriage?
Setujuuuu. Adult relationship harusnya lebih mature, sudah tau konsekuensi dari hubungan yg dijalani, dan bukan lagi sibuk dengan hal2 ga penting seperti baju, makan, tempat dating dll 😅
Aku ngerasain banget perbedaannya dari zaman masih muda saat pacaran , sampai di saat kuliah, lalu ngerasain lagi setelah kerja. Beda semua stylenya. Semakin lama, aku JD berani pertahanin prinsip yg menurutku benar. Kalo memang ga cocok dengan sesuatu yg diharapkan pasangan, ya aku bakal nego. Kayak masalah anak.
Aku ga suka, suami yg dulu msh pacar pengen punya minimal 2. Sempet arguing, sempet putus juga. Tapi toh pada akhirnya kami balikan lagi, dan sepakat aku akhirnya mau, tapi suami akan sediakan babysitter utk ngerawat si bayi full. Deal, win win solution kan. Harus begitu, ada kompromi. Jgn yg satu mau menang sendiri, apalagi Krn mikirnya kepala rumah tangga 🤣. Bhaaay sih yg begini