Cintanya mengalir…



Note: tulisan ini telah dibuat tahun lalu. Tapi belum sempat diposting…

Sebelum membaca lanjut tulisan ini, harap menonton video dibawah ini ya ^_^



Untuk kesekian kalinya saya menonton video ini. Dan kesekian kalinya air mata meleleh. Selalu saya tak bisa membendung air mata yang mendesak keluar. Kali pertama saya mendapatkan video ini dari kiriman seorang sahabat, Natalia, namanya. Ia sudah memesankan untuk menonton ini di rumah. Tapi karena saya kelewat bandel, alhasil saya nonton di kantor karena memang sedang lembur kala itu. Sepanjang saya menonton, air mata terus berderai hingga orang kantor menjadi panik. Kenapa nggak ada angin nggak ada hujan mbak Elnie nangis?Pikir orang kantor saat itu, mungkin.



Ketika selesai menonton saya langsung merenung. Berpikir. Hati saya sakit. Ulu hati ini serasa ditonjok dan wajah ini seperti ditampar sangat keras. Hingga rasanya saya terhempas ke dalam lubang hitam tak berbatas. Rasa sedih, penyesalan, marah, semua campur aduk menjadi satu.



Ketika kenyataan menampar logika. Saya tersentak. Betapa sendirinya Mama saya. Betapa kesepian beliau ketika saya sibuk mencari nafkah. Betapa seringnya saya khilaf mengingatkan Mama bahwa beliau sudah menyebut hal yang sama lebih dari dua kali. Tapi bagaimana pun saya berulah, beliau tidak pernah putus mendoakan saya. Betapa nakalnya saya, beliau tak mengenal lelah untuk terus menasehati saya hingga terkesan galak sekali pun.
Hingga saya tersadar pada suatu hari di saat Lebaran kemarin. Saat asisten rumah tangga kami pulang kampung. Pagi itu seperti biasa matahari masih terbit dari timur, burung-burung berkicau, dan saya terbangun untuk membuka gerbang halaman pada pukul 5 pagi. Setelah kembali ke dalam rumah, tiba-tiba lampu padam seketika. Saya bingung dan membangunkan Mama. Mama pun ikut-ikutan bingung. Cepat mama menyuruh saya mengecek ke tetangga sebelah rumah apakah mereka juga mengalami hal yang sama. Dan anehnya setelah saya cek sekeliling dan penjuru kompleks, hanya kami yang padam. 


Otak kami berputar cepat untuk meminta bantuan. Ya, tukang bangunan langganan. Saya berlari ke rumahnya dengan jarak 30 meter dari rumah. Berat hati saya membangunkannya untuk meminta tolong yang berujung dengan hasil nihil. Menyarankan untuk telepon PLN yang sudah saya coba dan… tak ada sambungan ke sana. Secara seingat saya hari itu sabtu. Itu pun saya bolak-balik ke rumah tukang bangunan beberapa kali dan mama sempat ikut. Ngeri saya menuntun mama saat itu. Jarak 30 meter untuk saya terasa singkat, tapi saya tahu, tidak untuk beliau. Dengan napas tersengal-sengal beliau terduduk di halaman rumah.



Berpikir… berpikir… dan berpikir….




Saya pun berpikir sembari terus menelpon pihak PLN. Dan Allah menjawab kekhawatiran kami, seorang petugas listrik lewat depan rumah. Beliau tiba-tiba mampir dan menanyakan kenapa kami berdua berwajah panik. Singkat kami jelaskan alasannya. Kemudian tanpa disuruh bapak itu langsung mengecek keadaan listrik rumah kami. Setelah ditelusuri ternyata ada kabel terusan dari tiang listrik yang putus akibat gesekan dengan seng atap rumah. Kami dapat bernapas setelah mengetahui akar permasalahan kenapa listrik rumah kami padam sendirian.

SOLUSI?

Beliau menyarankan agar kami mengganti kabel yang putus dengan yang baru. Dan kami pun antusias mengiyakan. Setelah dijelaskan panjang lebar, kami merosot di tempat. Bingung. Semaput. Hingga kehilangan kata. Hal itu disebabkan karena kami harus merogoh kocek cukup dalam untuk biaya putus kabel tersebut. Saya dan mama saling pandang, mencari solusi. Karena memang saat itu kami tidak punya uang tunai sebanyak yang bapak itu sebutkan. Hati saya mengumpat, ‘Mampus nggak sih kalau mesti mati lampu lama gini? Nggak mandi, nggak bisa ngapa-ngapain! Kayak hidup di goa!?’  Bapak itu sepertinya bisa membaca kehawatiran kami. Ia pun memberikan alternatif lain dengan cara sedikit penyambungan kabel yang biayanya juga besar, walau memang tidak sebesar opsi pertama. Jujur saja, saat itu uang yang kami punya sudah pas untuk biaya makan menjalani beberapa pekan sebelum akhir bulan, selama pembantu kami mudik. Dan uang simpanan juga tidak seberapa karena kami telah memberikan THR ke asisten rumah tangga dan keluarganya.



Singkat cerita, kami memutuskan tetap mengganti kabel keseluruhan. Karena takut kalau hanya menyambung sedikit kabel dan ditambel. Resiko kerusakan lebih besar bisa saja terjadi kan? Mama memberi kode agar saya mendekat dan berbisik agar saya ke rumah tukang bangunan langganan kami untuk meminjam barang sedikit jumlah uang, menggenapi sisanya. Saya berlari cepat dengan peluh membanjiri tubuh. Dapat! Sekembalinya ke rumah, mama tampak lelah dan tersengal-sengal. Perasaan saya, mama cukup lama duduk rehat sejak terakhir ke rumah tukang bangunan kami. Kenapa ini masih tampak lelah? Ternyata mama sehabis mencari pinjaman ke tetangga. Akhirnya uang kami serahkan ke si bapak. Hingga dia bereskan semua dan membuat listrik kami aman dari bahaya lain yang memungkinkan putusnya lagi aliran listrik.



Setelah selesai semua dan listrik kami kembali menyala, saya senang tapi sedih. Sedih karena ternyata seperti ini toh rumah tangga. Mengatur keuangan, dll. Selama ini saya hanya tahu mencari uang tanpa tahu jelas proses perputaran dan pengeluaran. Saya sedih melihat mama saya harus pontang-panting mencari pinjaman yang tidak seberapa agar rumah kami tetap dialiri listrik. Bahwa kenyataannya selama ini mama menjadi seorang single fighter membesarkan saya dengan susah payah dan berbagai masalah hidup yang tidak mudah. Saya, dengan masalah listrik padam saja sudah cukup panik dan bingung. Bagaimana mama yang selama ini mengatasi semuanya? Dari membesarkan saya, mendidik saya, mengawasi, memarahi saya. Semua adalah wujud kasih sayangnya.


Dan saya dengan kesibukan mencari nafkah tanpa mempedulikan macam persoalan pelik yang dihadapi mama. Dan dengan segala keegoisan saya bahwa tak sedikit mama lebih sering terlihat tenang ketimbang menunjukkan segala permasalahan kepermukaan. Dan mama yang selalu menjadi perisai untuk saya terhadap segala ketakutan yang menyergap. Mama yang selalu tersenyum dengan menyimpan sejuta kerumitan. Mama yang selalu ada untuk saya.

Masih tersimpan dengan baik dalam ingatan saya bagaimana mama selalu terjaga hingga larut  sampai saya pulang selepas aktivitas di luar seharian. Dan teringat bagaimana juga ternyata mama belum makan malam hanya untuk makan bareng dengan saya. Rasanya hati ini teriris, mana kala suatu hari mama terjatuh akibat sibuk mencari obat maag untuk saya ditengah malam.



Ma, aku sayang mama. Walau mama galak atau bawel. Ketika aku berada jauh dari mama, hal itulah yang paling aku rindukan. Mama adalah sumber kekuatanku. Mama, aku ingin selalu membuat mama tersenyum bahagia.

Dear God, terima kasih Engkau telah mengirimkan seorang malaikat. Seorang malaikat berwujud manusia yang penuh kasih dan berhati emas. Izinkan aku untuk selalu membuatnya bahagia. Walau tidak dengan kemewahan, tapi dapat menghadirkan kebahagiaan dalam senjanya. I love you, ma.

Today a reader, tomorrow a leader.
A good readers live a comment here ^ ^
I always try to reply your comment and visit back to your blog/website.
So, keep coming back and we can be a friend xoxo

9 thoughts on “Cintanya mengalir…

  1. Welcome To My House says:

    thank you sudah main ke blog aku 🙂 aku pun tersadar ketika kejadian itu terjadi, mak. Jadinya lebih menghargai keberadaan beliau dan mengusahakan waktu.

  2. Welcome To My House says:

    makasih mas arif sudah mampir 🙂 aaahh aku dikunjungi bloher ternama ^ ^
    Sayangnya mamaku sudah terlalu tua untuk membaca tulisan depan laptop 🙂 but she knows how much i love her

  3. Arifah Abdul Majid says:

    Mama saya juga puluhan tahun menjadi single mother, dan sekarang saya pun seorang single mother. Saya juga menyadari bahwa mama saya hebat luar biasa, dia begitu berani pasang badan demi anaknya :'( seorang ibu memang rela berkorban demi anak dan pasti ingin memberi yang terbaik untuk anak 🙂 Saya terharuuu baca postingan Mak Elnie

  4. Welcome To My House says:

    Salam kenal Mak Arifah,

    Terima kasih sudah berkenan mampir untuk membaca dan memberikan testimoni.

    Saya belum menjadi ibu. Jadi saya tdk bisa memahami benar rasanya seperti Mak Arifah dan ibu saya. Tapi dengan melihat dari kejadian sehari-hari yang ibu saya alami membuat saya belajar, bahwa seorang ibu sangat kuat. Sangat hebat. Hebat dalam memerankan perannya dalam rumah tangga sebagai ayah, ibu, teman, dokter, perawat, mau pun pelayan keluarga atau anaknya. Itu tdk mudah diluar kesusahan yang menimpa dari luar atau moodnya. Saya mendoakan mak Arifah kuat dan menjadi seorg super mom spt mama saya. Krn seorg ibu saja sudah hebat, apalagi single fighter. Its not an easy tho. *peluk* 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.