Hari ini saya menangis…

Normal-Menangis-Ketika-Ditolak-Kerja

Jumat, 27 April 2012

Saya sedih. Bukan karena jari saya terjepit pintu. Atau, minyak goreng yang panas mengenai kulit. Tidak. Saya sedih ketika orang yang sama sekali tidak mengenal saya bisa berkata sedemikian menyakitkan. Masih membekas dibenak saya bahwa beberapa pekan lalu saya mencoba mendaftarkan diri sebagai calon karyawan disalah satu perusahaan retail terbesar di Indonesia. Perusahaan retail yang mengusung berbagai ternama dari luar negeri. Terkenal dengan gerai kopi asing yang memiliki ribuan tersebar di penjuru Indonesia.

Pada pukul 16: 35: 52 saya berhasil tersambung kebagian personalia kantor tersebut. Setelah beberapa kali saya berusaha menghubungi tapi gagal karena telpon yang begitu sibuk.

Dengan semangat ’45 saya berusaha menghubungi kantor tersebut karena kemarin, Kamis, 26 April 2012 pada pkl 15.27, seorang ibu dari perusahaan itu menghubungi saya. Sepertinya terkait dengan lamaran saya tempo lalu. Sayangnya, saat itu saya sedang dibus. Kondisi yang bising tidak memungkinkan saya dapat mendengar jelas apa yang dibicarakan orang di seberang sana. Hal itu disadari oleh si penelpon yang saya sinyalir bagian personalia perusahaan tersebut. Ia mengatakan, kapan saya bisa menghubungi Ibu Elnie kembali?” Saya mengatakan, “kurang lebih 10 menit.”
Karena saya memperkirakan kisaran 10 menit saya sudah tiba di tempat tujuan dan jauh dari bising. Tapi detik berganti menit dan berganti jam, saya meratap memandangi ponsel saya yang diam seribu bahasa.

Baca juga: Brave with your heart!

Hingga hari berganti tidak ada telpon dari perusahaan itu lagi. Maka saya inisiatif menelpon balik. Setelah berhasil terhubung dan dengan nekat memencet asal nomor esktensi 700. Saya tersambung, suara seorang wanita. Sebelumnya saya meminta maaf atas kelancangan dengan sembarang menekan ekstensi. Ringkas saya ceritakan dengan nada sedikit frustasi karena telpon begitu sibuk, bahwa saya ingin disambungkan kebagian HRD untuk mengklarifikasi telpon yang saya terima kemarin, yang sayangnya saya tidak menahu berapa ekstensi untuk HRD. Akhirnya dengan sabar ibu itu menjelaskan bahwa ekstensi yang saya tekan bukanlah bagian personalia dan beliau tidak dapat menyambungkan saya kebagian yang dimaksud. Tapi jalan keluarnya, beliau menyarankan menelpon ulang kenomor yang sama dan menekan nomor ekstensi bagian personalia, 549. Sungguh baik, saya sangat berterima kasih dan menyampaikan rasa sungkan karena telah menyela aktivitas beliau.

Saya senang.

Ternyata kantor ini berisikan orang baik. Lagi, saya mencoba menelpon kantor tersebut dan sungguh sibuk. Hingga kesekian kalinya saya bisa masuk dan segera saya tekan 3 digit angka tersebut. Nada tunggu mendengung ditelinga saya. Kemudian, lagi, suara wanita menyambut saya. Dan secara cepat saya mengulang ringkas cerita tujuan saya menelpon. Si wanita menyuruh saya untuk menunggu sebentar. Telpon diteruskan ke­ line lain. Suara lelaki kali ini yang menyambut saya. Dengan antusias saya menceritakan kembali tujuan maksud saya menelpon, lagi. Lalu beliau menanyakan apa saya sebelumnya sudah melalui psikotest? Mantap saya menjawab, belum. Ia menanyakan kembali bagaimana kalau saya membawakan lagi resume beserta CV saat psikotest. Sedikit bingung saya bertanya, “kapan itu tepatnya ya, pak? “Sebuah harapan terbit dihati saya. Karena memang saya bermimpi bergabung menjadi bagian keluarga perusahaan itu. Berikutnya, beliau menanyakan nama serta telpon saya. Tangkas saya langsung menjawab.

Sekali lagi beliau mengatakan, “Oke. Kalau begitu kamu bisa bawakan CV lagi?”

Saya menganggukan kepala antusias. Tersadar bapak itu tidak mungkin melihat anggukan saya. “Tentu, pak. Pasti. Kapan saya bisa bawakan ke bapak?”

Belum terjawab pertanyaan saya, beliau menanyakan saya lulusan apa.

Dengan mantap saya jawab, “Lulusan SMA, pak.”
“Apa? SMA?” Dari suaranya ada nada keheranan. Seolah-olah beliau baru mendengar kata SMA.

Saya menyahut mantap, “Ya, SMA, pak. Jadi, kapan kiranya saya bisa menyerahkan kembali berkas CV saya?”

Bapak itu sekali lagi bertanya, “SMA?” Kali ini dengan nada mencemooh. Seakan begitu hinanya saya yang hanya lulusan SMA. “SMA ya?” yakinnya sekali lagi.
“Iya, pak.” sahut saya.
Lalu dengan tegas dan nada angkuh bapak itu berkata, “Kalau begitu kamu tunggu saja ditelepon lagi ya.”

Klik. Telepon mati.

Sedih Rasanya Ditolak Kerja Perusahaan Impian

Saya terpekur bengong. Asa yang saya gantung tinggi-tinggi, menguap seketika. Meninggalkan luka di sana. Saya menelan ludah, pahit, getir. Apa dosa saya hanya karena lulusan SMA? Saya pernah mengenyam pendidikan sampai bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi bonafit walau tidak genap sampai semester 2. Bukan dosa saya bahwa saya harus menelan pil pahit akan nasib buruk yang menimpa keluarga saya. Siapa pun, semua anak di dunia tak terkecuali, saya yakin seyakinnya, bila mereka memiliki keinginan dan mimpi yang sama seperti saya. Ingin meraih pendidikan setinggi-tingginya. Berhak kah saya mempersalahkan cobaan yang menimpa keluarga saya kepada Tuhan? Apakah seorang SMA tidak boleh berangan bekerja di management perusahaan?

Saat itu, mimpi saya bergabung menjadi bagian keluarga perusahaan itu pupus sudah. Dulu dengan giatnya saya selalu mencoba pantang menyerah. Ini ketiga dan terakhir kalinya saya mencoba. Karena perusahaan tersebut mempekerjakan orang yang hanya bisa mengkotak-kotakan manusia dari segi status sosial dan pendidikan.CSaya memang lulusan SMA. But I’m willing to do anything. Work as waitress, partimer, anything! Anything I could do to get money so I can feed me and mom. Tidak ada yang mau hidup susah. Tidak ada yang mau hal buruk terjadi dalam hidupnya. Tapi kita hanya manusia, saya, termasuk Anda. Kita usaha dan berencana. Hal dari pada itu diluar kuasa kita.

Saya nggak pernah meminta pada Tuhan keadaan kami berubah 180 derajat. Hidup serba sulit. Dan saya tidak tahu menahu hidup kami akan berubah seperti ini. Seandainya saya tahu, saya dan mama pasti langsung mengantisipasi. Dari yang hidup kami serba berkecukupan, memiliki mobil, dan beberapa properti di daerah segitiga emas. Dan sekarang, semua itu hilang bagai sekali kedipan mata. Malam-malam saya terlelap, berharap esok hari terbangun dan berharap semua mimpi. Tapi saya sadar dan bangkit, bahwa ini kenyataan yang tidak bisa dipungkiri maupun dihindari. Saya mengambil kerja apapun, dari pelayan hingga usher. Saya akan melakukan apapun untuk menjadi tulang punggung keluarga. Untuk menghidupi dan membiayai pengobatan mama saya yang mengidap diabetes dan terserang stroke sebanyak 2 kali.

Mama hanya punya saya. Dan saya harus kuat, tegar. Menjadi batu karang untuk mama. Saya harus mengambil alih kemudi kepala keluarga. Berhenti kuliah pun adalah salah satu keputusan terberat dan terbaik yang pernah saya ambil. Bukan saya menginginkannya. Tapi saya harus. Karena saat itu biaya pengobatan dan pelunasan hutang mama saya lebih penting. Sebagai anak satu-satunya saya tidak bisa seegois itu memikirkan diri sendiri.

Selama 21 tahun saya hidup. Dengan pengalaman yang saya miliki. Saya masih bisa menerima cemooh, hinaan, atau cibiran orang lain. Saya kuat. Tak pernah saya hiraukan. Tapi kali ini, seseorang yang tidak mengenal saya sama sekali. Orang yang menjabat sebagai bagian personalia dan pastinya lulusan universitas jurusan psikologi, teganya bisa berkata seperti itu. Seperti itukah masyarakat Indonesia, terutama Jakarta?  Seperti itu lulusan bangku kuliah? Indonesia yang selalu saya banggakan akan budi pekerti dan ramah tamah yang mulai terkikis akan egosentris individunya? Indonesia di mana saya peduli untuk bergabung berbagai komunitas yang bertujuan memajukan kesetaraan hak, pendidikan, dan kelayakan. Kemana? Seolah itu semua tertelan oleh kediktatoran kapitalis yang menginginkan standart setinggi-tingginya.

Bapak yang baik, saya berharap kejadiaan ini tidak menimpa orang lain. Terima kasih karena anda saya belajar, bahwa saya masih memiliki hati nurani. Bahwa saya tidak akan memperlakukan orang lain seperti makhluk rendahan. Karena pada hakikatnya Tuhan menciptakan saya selayaknya menciptakan Anda. Tidak ada yang berbeda dimata-Nya. Dan anda tidak memiliki hak untuk memperlakukan sesama seperti itu. Saya percaya Tuhan membuat semua ini terjadi dalam hidup saya karena Ia ingin membentuk pribadi ini menjadi lebih kuat dan tegar. Dan saya bahagia karena saya juga manusia. Yang memiliki perasaan, bisa terluka dan menangis. Tapi setelah itu, saya akan bangkit berdiri menatap lembaran masa depan saya. Dan berbahagia dengan mama. Saya hanya ingin memberikan terbaik untuk mama, tanpa beliau harus pusing akan masalah ekonomi yang menghimpit. Saya tidak akan membiarkan orang lain merusak hari saya.

Today a reader, tomorrow a leader.
A good readers live a comment here ^ ^
I always try to reply your comment and visit back to your blog/website.
So, keep coming back and we can be a friend xoxo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.